Rabu, 13 September 2017

Flames (Cerpen Roman)


Lily mendekap. Mendekap laki-laki yang tengah bersendu di bahunya. Adakah kesenduan lain yang bisa dia rasakan selain kesenduan yang disebabkan oleh pengkhianatan?

Percayalah, Lily mengalami banyak kesenduhan dibandingkan laki-laki itu. Dia ada dalam pelukkan Lily, namun sangat sulit untuk dijangkau. Sejauh itukah?


(***)
Flame of irian. Bunga sebentuk cakar raksasa berwarna nyala api itu umpama simbol semangat bagi Lily. Setiap kali dia melihat bunga yang menggantung di atas kepalanya sepanjang lorong, kala itulah Lily melihat semangat penuh yang berkobar bak nyala api, panas membara. Sukar untuk dipadamkan dan terlalu kuat.

Untuk yang kesekian kalinya Lily membuka gulungan kertas sepanjang sepuluh senti itu sekali lagi; mendesah lelah sebelum menggulung kembali dan memasukkannya ke dalam wadah beling kecil di antara rerimbunan bunga flames. Berharap tidak ada yang tau benda itu di sana, tidak juga dengan Moza.

Lily mengalihkan pandangan ke pintu tralis taman bunga. Moza berdiri dengan penampilan rapi di sana, memancing senyum manis Lily. "Mau kemana lagi? Mau pergi kencan buta? Kamu harus berhenti melakukannya.  Memang, tidak muak berusaha keras pada cewek-cewek yang akhirnya hanya mengutang makan dari dompetmu itu?" ejek Lily.

Moza tergelak menatap gadis cantik di hadapannya. "Ini bukan masalah muak atau tidaknya. Ini masalah kebebasan. Kita masih muda, jadi nikmati saja saat bersenang-senang begini. Ayolah, jangan jadi kaku. Berbahagialah sedikit." 

Lily hanya tersenyum, kebahagiaanku ada pada senyummu, batinnya bermonolog.

"Baiklah, baik. Setiap aku menyuruhmu bahagia, kamu pasti hanya akan tersenyum. Kamu tahu? Itu membuatku sedikit takut. Ya, walaupun kamu manis."

Moza mengakui paras yang dimiliki oleh Lily. Tetapi entah kenapa, hatinya tidak kunjung terpaut pada gadis itu. Apa karena rentang waktu yang mereka lalui bersama selama ini? Mungkin. Tetapi itu rahasia hati, hanya tabir waktu yang berhak menyingkapnya.

Lily berbalik mencari di mana saklar lampu warna-warninya. Sebentar lagi malam. Dia tahu walaupun dalam gelap Flames akan tetap bercahaya. Tetapi setidaknya Lily tidak akan membiarkan bunga itu dalam kegelapan.

"Moza?" panggil Lily.

"Hmm?"

"Proposal beasiswa yang kamu ajukan untukku waktu itu...."

"Kamu dapat balasannya?" tanya Moza dengan semangat. Dia menarik kursi di hadapan Lily dan turut duduk berhadapan di sana.

"Iya. Mereka bilang akan membiayai hidupku selama di sana dan juga memberiku pekerjaan," balas Lily sendu. Moza bahkan tidak menyadari nada bicara gadis itu yang semakin lama semakin melemah.

"Itu bagus. Jadi kamu tidak perlu lagi...."

"Mereka memintaku pindah ke sana," sambar Lily cepat

Moza meredam seluruh semangatnya, tergeming kaku. Itukah persyaratan mereka?
 
"Ini tidak adil!" sergahnya seraya berdiri. Dia tidak salah, 'kan? Sebelumnya tidak ada persyaratan semacam itu. "Mereka ingin memonopolimu, Lily. Batalkan saja dan tolak beasiswanya. Kita bisa ajukan ke tempat lain."

"Tapi ... aku sudah menerimanya. Aku menyanggupi dan menerima tawaran untuk pindah ke sana," jawab Lily pelan. Sejak awal gadis itu sudah tahu kalau Moza akan berbicara demikian. Maka dari itu ada baiknya jika dia memutuskannya sendiri tanpa Moza. Lagi pula ada faktor lain yang membuatnya menyanggupi tawaran itu.

"Ya, ampun, Lily. Kamu tidak bicarakan ini denganku lebih dulu. Bagaimana, sih? Lihat, sekarang jadi makin sulit," amuk Moza. Tiba saja tatapan curiga penuh tuduh menghunjam Lily yang terdiam kaku. "Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ingin berpisah, ya? Ayo mengaku!" tuding Moza dengan seribu nada kebodohan.

Lily mendesah lirih dan akhirnya ikut berdiri menantang Moza. "Kamu ini bodoh atau apa? Pada akhirnya memang harus seperti itu, 'kan? Tidak mungkin aku akan selalu mengikutimu dan keluargamu nanti."

Moza diam sejenak. 

"Kamu ada benarnya. Ah, sudahlah. Pusing aku jadinya. Kita bicarakan lagi nanti setelah kencanku selesai. Aku pergi," pamitnya dan tiba saja sudah menghilang di balik pintu trali besi.

Lily kembali terduduk dan mendesah dengan raut sendu. Karena sikap bodoh Moza itulah yang membuatnya sulit menjauh.

Andai itu sesulit meraih bintang untuk dapat melupakanmu, maka akan aku panjat awan untuk menggapainya.


(***)
"Kenapa jadi terasa sangat sulit melepaskanmu?" erang Moza sesaat setelah menurunkan koper milik Lily. Gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi keluhannya.

"Ayolah, Moza. Kamu menjadikan langkahku semakin berat," ujar Lily.

Moza tersenyum sesaat. "Bagus. Kamu tidak perlu pergi," dia melihat satu gelengan dari Lily. "Jadi, kamu tetap akan pergi?"

"Tentu. Ini impianku, kamu pun tahu itu."

"Tapi ini tetap tidak adil. Aku di sini dan kamu di Amsterdam. Kita jauh sekali."

Lily terkekeh kecil. "Berhentilah mengeluh. Hidup memang tidak pernah adil. Jadi, biasakan dirimu, ya."

"Jangan cari pengganti aku di sana, ya," ujar Moza semakin terdengar bodoh bagi Lily. Tentu saja sangat bodoh, lagi pula Lily hanya pergi ke benua lain dan bukannya ke dunia lain. Moza itu ... sungguh berlebihan.

Tidak akan, karena tidak ada yang sepertimu di tempat lain. Lily tersenyum keluh menanggapi gumaman hatinya. 

"Tenang saja. Karena di sana hanya ada orang normal dan sangat sulit mencari yang tidak beres sepertimu," balas Lily.

"Hai, tanpa aku yang tidak beres ini, semuanya tidak akan berjalan dengan mulus. Meski aku benci mengakui kalau itu merenggutmu dariku."

"Iya, aku berterima kasih untuk itu."

Lily senang karena di saat akan keberangkatannya, mereka berdua masih sempat berkelakar untuk terakhir kali. Namun sedih juga meliputi. Karena setelah ini semua rasa yang Lily punya akan melebur bersama awan dan rasa cintanya kepada Moza. Tapi tidak dengan hari ini. Dia tidak ingin melupakan hari ini. Kenangan ini akan dia simpan untuk dirinya sendiri.

"Kamu yakin tidak akan pulang?" tanya Moza sekali lagi demi meyakinkan hatinya kalau Lily akan berubah pikiran.

"Entahlah. Jika mungkin aku akan pulang nantinya, pastikan kamu sudah memiliki satu dari sekian cewek yang kamu kencani itu, ya."

"Oh, kalau itu pasti. Aku tidak akan melepaskan salah satu dari mereka. Aku akan tangkap satu dan dia harus membayar atas dompetku yang bolong karena kaumnya," canda Moza.

"Itu bagus," angguk Lily. "Setelahnya, berhentilah melakukan kencan buta yang bodoh itu. Kalau begitu aku pergi?"

Moza mengangguk dan mengulurkan tangan untuk mengisyaratkan Lily pergi lebih dulu. 

Gadis itu menyeret masuk kopernya. Sejenak dia berbalik karena merasa Moza memanggilnya. Lagi.

"Aku akan urus Flames-nya. Kamu jangan khawatir. Belajar dan hiduplah dengan baik di sana," ucap Moza seraya tersenyum. Ada sesuatu  bergelenyar di sanubari terdalam yang Moza tidak ketahui apa itu. Sesak. Apakah ini rasa kehilangan itu? Rongga dadanya kosong dan seakan udara berhenti mengalir ke paru-parunya.

Lily menarik nafas dan menganguk. "Aku titipkan semuanya padamu."

Sosok Lily menghilang di antara rerimbunan orang. Kalimat terakhir Lily seolah terdengar bahwa gadis itu menitipkan segalanya. Bunganya, harapannya, semangatnya, kenangannya, dan ... cintanya. Lily titipkan dan tinggalkan pada Moza.

Setetes air mata membasahi tiket dan paspor. Tangis yang sedari tadi Lily redam, kini tumpah ruah. Dia tak kuasa menjanjikan apa-apa pada Moza dan bahkan dia tidak yakin mampu melupakan laki-laki itu dikehidupan barunya.


(***)
Berminggu-minggu. Tidak! Sudah berbulan-bulan lamanya Lily pergi. Dia menghilang dari pandangan bagaikan uap air yang melebur. Hanya tinggal Moza yang sesekali terduduk mengingat gadis itu di bawah rayuan sejuk Flames yang bertebaran semakin menyala.  

Apa semangat Lily sekarang semenyala itu?

Selama hampir delapan bulan lamanya Moza mengurusi tanaman kesayangan Lily. Tentu saja, dia sudah berjanji. Tetapi selama itu pula Moza mulai berhenti melakukan kencan buta bodoh. Tidak seru tanpa Lily yang siap mengomentarinya. Sungguh, Moza sangat merindukan senyum manis gadis itu. Bukan, Moza merindukan segalanya tentang Lily, tidak hanya senyumnya.

Lampu taman berkedip seolah hendak padam. Moza yang teringat bahwa Lily tidak pernah membiarkan penerangan Flames memadam berusaha ingin mengganti lampunya. Di sanalah Moza melihat botol beling kecil gembung yang terisi penuh dengan gulungan kertas. Menggantung. Di samping cahaya hangat bola lampu.

Moza teringat kalau Lily selalu ada dalam posisi berdiri di kursi bawah lampu setiap dia memergokinya. Dulu dia sempat berpikir bahwa gadis itu hanya memperbaiki lampu. Ternyata benda itu menjadi penyebabnya.

Moza membobol paksa dan membuka lembaran-lembaran gulungan kertas. Satu per satu, lembar demi lembar. 

Mereka hanya melubangi kantongmu, bodoh.

Cewek yang kamu kencani, semuanya buruk.

Berhentilah mengejar cewek-cewek bodoh itu.

Moza, bodoh.

Senyum Moza mengembang saat membaca komentar-komentar mengenai kencan butanya. Dia jadi semakin merindukan Lily. Tiba saja Moza jadi tertegun menemukan banyaknya lembaran dengan kalimat yang sama yang ditujukan entah untuk siapa. 

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu.

Aku sangat mencintaimu. 

Aku jujur, kalau aku sungguh-sungguh mencintaimu. 

Apa karena kita sering bersama, sehingga kamu sulit menatapku? 

Aku mencintaimu, Moza.

Jantung Moza bergemuruh, sunguhkah penglihatannya ini? Apa yang sudah terjadi? Cinta itu ada di depan mata, tetapi dengan bodohnya dia masih mencari. Lily mencintainya dalam diam. Memeluknya dengan sepenuh cinta selama ini.

Aku di sini, Moza. Lihat aku dan berhentilah bertindak bodoh.

Hanya ini. Kebahagianmu adalah kebahagiaanku juga.

Rongga dada Moza memanas. Apa itu penyebab Lily tak pernah menanggapi ucapannya yang meminta gadis itu bahagia? Karena dirinyalah sejati dari kebahagiaan Lily. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan Lily, walau menyakitkan. Tiba di kertas paling akhir, Moza ambigu ingin membuka atau membiarkannya.

Deg....

Andai itu sesulit meraih bintang untuk dapat melupakanmu, maka akan aku panjat awan untuk meraihnya.

Inilah alasan terbesar Lily menerima tawaran itu tanpa izinnya. Gadis itu ingin melupakannya. Lily ingin pergi jauh untuk mengubur segalanya. Andaikan Moza tau lebih awal tentang cinta ini, dia tidak akan membiarkan Lily pergi. Sekuat tenaga dia akan menahannya. 

Air mata jatuh mewakili penyesalan. Kesalahan terbesar yang terakhir disesali adalah membiarkan dia pergi setelah semuanya terlambat.

Akhirnya, Moza mengerti tentang kalimat terakhir Lily yang diucapkan untuk menitipkan segalanya.
Flames itu tidak hanya sekadar bunga. Ada semangat menggelora di dalamnya, ada harapan yang gadis itu gantung di antaranya, ada sejuta kenangan di bawahnya, dan ... ada cintanya bersama Flames itu. Moza.

"Pulang atau tidak, aku berjanji akan menunggumu," desis Moza pada Flames. Berharap Lily mampu mendengarkan ucapannya melalui bunga-bunga itu. Meski tidak jelas Lily apakah akan kembali atau tidak, Moza akan menunggu untuk cinta yang selama ini dia cari.
END
===========
RIS posting at (110916) via Wattpad @Viellaris_Morgen
Repost at (130917)

2 komentar:

  1. Endingnya Moza yang nunggu Lily, hahaa... #makanya peka dong ih!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cie mampir, Kak Amara. Makasih loh kak udah baca :)

      Hapus

1. Cokelat dan Kekecewaan

Chocolatte Feeling 1 Cokelat dan Kekecewaan *** Chindai berjalan lesu, menenteng paperbag -nya. Harapan kini tinggal hara...