Rabu, 27 September 2017

1. Cokelat dan Kekecewaan



Chocolatte Feeling 1

Cokelat dan Kekecewaan

***

Chindai berjalan lesu, menenteng paperbag-nya. Harapan kini tinggal harapan yang ia gengam. Laki-laki yang ingin diberikannya paperbag itu tengah bercengkerama mesra bersama gadis lain. Sakit hatinya benar-benar tidak sebanding dengan sakit apa pun yang pernah dirasakannya.

“Bagaimana? Bagas suka coklatnya?” tanya Marsha pada Chindai ketika gadis itu sampai di gang rumahnya.

Chindai hanya mengeleng lesu. "Coklatnya untuk kamu saja," ujarnya sembari mengangsurkan paperbag pada Marsha dan berjalan lebih dulu masuk ke dalam gang.

 Marsha hanya menatap sendu pada Chindai yang terus berjalan ke dalam gang gelap. Pasalnya gadis itu sudah lama menyukai Bagas dan selalu berusaha mendekatinya meski sangat sulit. Tapi, mendekati Bagas tidak semuda kelihatannya. Laki-laki itu banyak didekati oleh para gadis. Namun Bagas hanya suka berdekatan dengan satu gadis saja. Chelsea. Mungkin bagi Bagas tidak ada orang lain yang bisa mendekatinya selain Chelsea, hanya gadis itu yang diperbolehkan bersamanya.

"Cinta memang enggak harus memiliki dan cinta harus mengalah demi orang yang dicintainya. Kamu membuktikannya, Ndai," gumam Marsha. "Tetapi cinta kamu untuk Bagas, semanis cokelat buatanmu meski enggak pernah tercicipi."

(***)
Marsha dan Chindai tengah sibuk berkutat dengan buku di meja kelas, menyelesaikan tugas yang mungkin nanti akan diminta oleh dosen mata kuliah tertentu sesaat sebelum mereka menerima sapaan dari seseorang.

"Aku titip catatan buat nanti dikumpul, ya, Ndai. Aku harus pulang duluan."

Chindai dan Marsha menengadah menemukan Bagas yang berdiri di dekat mereka dengan sebuah buku catatan di tangannya. Meski mereka satu kelas dan satu jurusan, Chindai tetap tidak berani untuk bicara lebih banyak pada Bagas. Entahlah, ia hanya merasa tidak pantas.

"Iya, nanti biar aku yang antarkan kepada Pak Tobi," balas Chindai.

"Baiklah, terimakasih kalau begitu," ujar Bagas sekali lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan meja di mana Chindai dan Marsha berada untuk menghampiri Chelsea yang telah menunggunya di pintu keluar.

Marsha menyenggol lengan Chindai yang terdiam menatap langkah Bagas. Temannya itu selalu diam seribu bahasa ketika berhadapan dengan Bagas. Mereka sudah berada di kelas yang sama hampir tiga semester dan Chindai tidak pernah berani ingin menegur lebih dulu. Entah apa sebabnya, gadis itu selalu mengatakan bahwa seperti sekarang ini saja sudah lebih dari cukup.

"Seharusnya kamu tegur dia tadi," ujar Marsha.

Chindai hanya tersenyum getir menanggapi. "Orang seperti aku punya alasan apa buat menegur Bagas? Lagi pula dia jauh lebih cocok dengan Chelsea."

"Ini dia masalah kamu, Ndai. Cokelat bikinan kamu itu enak, tapi kamu enggak punya nyali buat nyicipin ke orang lain. Akibatnya, ya, ini."

"Kamu bicara apa, sih?"

"Aku bicara kenyataan. Kalau kamu enggak mencoba buat mendekati Bagas, sampai kapan pun kamu enggak akan punya kesempatan."

Chindai terdiam mendengar ucapan Marsha. Sudah sering kali ia mendapatkan kesempatan untuk bicara banyak dengan Bagas. Tapi, semuanya terbuang sia-sia hanya karena Chindai tidak pernah berani menyisihkan prinsipnya yang mengatakan ketidakpantasannya untuk bicara dengan Bagas yang anak orang kaya.

"Jangan bilang kalau kamu enggak pantas ngobrol sama dia," terka Marsha, "ngobrol itu enggak memandang kasta, Ndai."

Chindai mengeleng lemah sembari terus menulis di atas bukunya. Semua yang Marsha katakan benar adanya. Mengobrol tidak pernah memandang kasta. Tapi yang Chindai pikirkan bukan hanya itu. Bagas tidak pernah ingin lepas dari Chelsea hanya untuk sekadar bicara dengan orang lain atau mungkin sebaliknya Chelsea yang tidak ingin lepas dari Bagas.

"Kesempatan enggak datang berkali-kali, Ndai. Kamu harus belajar menggunakan kesempatan itu dengan baik," ujar Marsha.

Chindai mengangkat kepalanya saat merasakan jemari Marsha membelai kepalanya mencoba memberikan kekuatan lebih untuk keberanian berbicara pada Bagas. Dan semoga saja akan ada kesempatan lain untuk berbicara dengan Bagas. Semoga saja ada.

To Be Continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1. Cokelat dan Kekecewaan

Chocolatte Feeling 1 Cokelat dan Kekecewaan *** Chindai berjalan lesu, menenteng paperbag -nya. Harapan kini tinggal hara...