Chocolatte Feeling 1
Cokelat dan Kekecewaan
***
Chindai berjalan lesu,
menenteng paperbag-nya. Harapan kini
tinggal harapan yang ia gengam. Laki-laki yang ingin diberikannya paperbag itu tengah bercengkerama mesra
bersama gadis lain. Sakit hatinya benar-benar tidak sebanding dengan sakit apa pun
yang pernah dirasakannya.
“Bagaimana? Bagas
suka coklatnya?” tanya Marsha pada Chindai ketika gadis itu sampai di gang
rumahnya.
Chindai hanya
mengeleng lesu. "Coklatnya untuk kamu saja," ujarnya sembari
mengangsurkan paperbag pada Marsha
dan berjalan lebih dulu masuk ke dalam gang.
Marsha hanya menatap sendu pada Chindai yang
terus berjalan ke dalam gang gelap. Pasalnya gadis itu sudah lama menyukai
Bagas dan selalu berusaha mendekatinya meski sangat sulit. Tapi, mendekati Bagas
tidak semuda kelihatannya. Laki-laki itu banyak didekati oleh para gadis. Namun
Bagas hanya suka berdekatan dengan satu gadis saja. Chelsea. Mungkin bagi Bagas
tidak ada orang lain yang bisa mendekatinya selain Chelsea, hanya gadis itu
yang diperbolehkan bersamanya.
"Cinta memang enggak
harus memiliki dan cinta harus mengalah demi orang yang dicintainya. Kamu membuktikannya,
Ndai," gumam Marsha. "Tetapi cinta kamu untuk Bagas, semanis cokelat
buatanmu meski enggak pernah tercicipi."
(***)
Marsha dan Chindai
tengah sibuk berkutat dengan buku di meja kelas, menyelesaikan tugas yang
mungkin nanti akan diminta oleh dosen mata kuliah tertentu sesaat sebelum
mereka menerima sapaan dari seseorang.
"Aku titip
catatan buat nanti dikumpul, ya, Ndai. Aku harus pulang duluan."
Chindai dan Marsha
menengadah menemukan Bagas yang berdiri di dekat mereka dengan sebuah buku
catatan di tangannya. Meski mereka satu kelas dan satu jurusan, Chindai tetap
tidak berani untuk bicara lebih banyak pada Bagas. Entahlah, ia hanya merasa
tidak pantas.
"Iya, nanti biar
aku yang antarkan kepada Pak Tobi," balas Chindai.
"Baiklah, terimakasih
kalau begitu," ujar Bagas sekali lagi sebelum benar-benar pergi
meninggalkan meja di mana Chindai dan Marsha berada untuk menghampiri Chelsea
yang telah menunggunya di pintu keluar.
Marsha menyenggol
lengan Chindai yang terdiam menatap langkah Bagas. Temannya itu selalu diam
seribu bahasa ketika berhadapan dengan Bagas. Mereka sudah berada di kelas yang
sama hampir tiga semester dan Chindai tidak pernah berani ingin menegur lebih
dulu. Entah apa sebabnya, gadis itu selalu mengatakan bahwa seperti sekarang
ini saja sudah lebih dari cukup.
"Seharusnya kamu
tegur dia tadi," ujar Marsha.
Chindai hanya tersenyum
getir menanggapi. "Orang seperti aku punya alasan apa buat menegur Bagas?
Lagi pula dia jauh lebih cocok dengan Chelsea."
"Ini dia masalah
kamu, Ndai. Cokelat bikinan kamu itu enak, tapi kamu enggak punya nyali buat
nyicipin ke orang lain. Akibatnya, ya, ini."
"Kamu bicara apa,
sih?"
"Aku bicara
kenyataan. Kalau kamu enggak mencoba buat mendekati Bagas, sampai kapan pun
kamu enggak akan punya kesempatan."
Chindai terdiam
mendengar ucapan Marsha. Sudah sering kali ia mendapatkan kesempatan untuk
bicara banyak dengan Bagas. Tapi, semuanya terbuang sia-sia hanya karena
Chindai tidak pernah berani menyisihkan prinsipnya yang mengatakan ketidakpantasannya
untuk bicara dengan Bagas yang anak orang kaya.
"Jangan bilang
kalau kamu enggak pantas ngobrol sama dia," terka Marsha, "ngobrol
itu enggak memandang kasta, Ndai."
Chindai mengeleng
lemah sembari terus menulis di atas bukunya. Semua yang Marsha katakan benar
adanya. Mengobrol tidak pernah memandang kasta. Tapi yang Chindai pikirkan
bukan hanya itu. Bagas tidak pernah ingin lepas dari Chelsea hanya untuk sekadar
bicara dengan orang lain atau mungkin sebaliknya Chelsea yang tidak ingin lepas
dari Bagas.
"Kesempatan enggak
datang berkali-kali, Ndai. Kamu harus belajar menggunakan kesempatan itu dengan
baik," ujar Marsha.
Chindai mengangkat
kepalanya saat merasakan jemari Marsha membelai kepalanya mencoba memberikan
kekuatan lebih untuk keberanian berbicara pada Bagas. Dan semoga saja akan ada
kesempatan lain untuk berbicara dengan Bagas. Semoga saja ada.
To Be Continue....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar