Rabu, 27 September 2017

1. Cokelat dan Kekecewaan



Chocolatte Feeling 1

Cokelat dan Kekecewaan

***

Chindai berjalan lesu, menenteng paperbag-nya. Harapan kini tinggal harapan yang ia gengam. Laki-laki yang ingin diberikannya paperbag itu tengah bercengkerama mesra bersama gadis lain. Sakit hatinya benar-benar tidak sebanding dengan sakit apa pun yang pernah dirasakannya.

“Bagaimana? Bagas suka coklatnya?” tanya Marsha pada Chindai ketika gadis itu sampai di gang rumahnya.

Chindai hanya mengeleng lesu. "Coklatnya untuk kamu saja," ujarnya sembari mengangsurkan paperbag pada Marsha dan berjalan lebih dulu masuk ke dalam gang.

 Marsha hanya menatap sendu pada Chindai yang terus berjalan ke dalam gang gelap. Pasalnya gadis itu sudah lama menyukai Bagas dan selalu berusaha mendekatinya meski sangat sulit. Tapi, mendekati Bagas tidak semuda kelihatannya. Laki-laki itu banyak didekati oleh para gadis. Namun Bagas hanya suka berdekatan dengan satu gadis saja. Chelsea. Mungkin bagi Bagas tidak ada orang lain yang bisa mendekatinya selain Chelsea, hanya gadis itu yang diperbolehkan bersamanya.

"Cinta memang enggak harus memiliki dan cinta harus mengalah demi orang yang dicintainya. Kamu membuktikannya, Ndai," gumam Marsha. "Tetapi cinta kamu untuk Bagas, semanis cokelat buatanmu meski enggak pernah tercicipi."

(***)
Marsha dan Chindai tengah sibuk berkutat dengan buku di meja kelas, menyelesaikan tugas yang mungkin nanti akan diminta oleh dosen mata kuliah tertentu sesaat sebelum mereka menerima sapaan dari seseorang.

"Aku titip catatan buat nanti dikumpul, ya, Ndai. Aku harus pulang duluan."

Chindai dan Marsha menengadah menemukan Bagas yang berdiri di dekat mereka dengan sebuah buku catatan di tangannya. Meski mereka satu kelas dan satu jurusan, Chindai tetap tidak berani untuk bicara lebih banyak pada Bagas. Entahlah, ia hanya merasa tidak pantas.

"Iya, nanti biar aku yang antarkan kepada Pak Tobi," balas Chindai.

"Baiklah, terimakasih kalau begitu," ujar Bagas sekali lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan meja di mana Chindai dan Marsha berada untuk menghampiri Chelsea yang telah menunggunya di pintu keluar.

Marsha menyenggol lengan Chindai yang terdiam menatap langkah Bagas. Temannya itu selalu diam seribu bahasa ketika berhadapan dengan Bagas. Mereka sudah berada di kelas yang sama hampir tiga semester dan Chindai tidak pernah berani ingin menegur lebih dulu. Entah apa sebabnya, gadis itu selalu mengatakan bahwa seperti sekarang ini saja sudah lebih dari cukup.

"Seharusnya kamu tegur dia tadi," ujar Marsha.

Chindai hanya tersenyum getir menanggapi. "Orang seperti aku punya alasan apa buat menegur Bagas? Lagi pula dia jauh lebih cocok dengan Chelsea."

"Ini dia masalah kamu, Ndai. Cokelat bikinan kamu itu enak, tapi kamu enggak punya nyali buat nyicipin ke orang lain. Akibatnya, ya, ini."

"Kamu bicara apa, sih?"

"Aku bicara kenyataan. Kalau kamu enggak mencoba buat mendekati Bagas, sampai kapan pun kamu enggak akan punya kesempatan."

Chindai terdiam mendengar ucapan Marsha. Sudah sering kali ia mendapatkan kesempatan untuk bicara banyak dengan Bagas. Tapi, semuanya terbuang sia-sia hanya karena Chindai tidak pernah berani menyisihkan prinsipnya yang mengatakan ketidakpantasannya untuk bicara dengan Bagas yang anak orang kaya.

"Jangan bilang kalau kamu enggak pantas ngobrol sama dia," terka Marsha, "ngobrol itu enggak memandang kasta, Ndai."

Chindai mengeleng lemah sembari terus menulis di atas bukunya. Semua yang Marsha katakan benar adanya. Mengobrol tidak pernah memandang kasta. Tapi yang Chindai pikirkan bukan hanya itu. Bagas tidak pernah ingin lepas dari Chelsea hanya untuk sekadar bicara dengan orang lain atau mungkin sebaliknya Chelsea yang tidak ingin lepas dari Bagas.

"Kesempatan enggak datang berkali-kali, Ndai. Kamu harus belajar menggunakan kesempatan itu dengan baik," ujar Marsha.

Chindai mengangkat kepalanya saat merasakan jemari Marsha membelai kepalanya mencoba memberikan kekuatan lebih untuk keberanian berbicara pada Bagas. Dan semoga saja akan ada kesempatan lain untuk berbicara dengan Bagas. Semoga saja ada.

To Be Continue....

Sabtu, 16 September 2017

Resensi Teenage Blue




Judul: Teenage Blue
By: Mito Orihara
ISBN: 4-06-190202-4
Illustration: Mito Orihara
Pertama dipublikasikan di Jepang pada tahun 1988 oleh Kodansha Ltd. – Tokyo
Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Judul: Teenage Blue
Alih bahasa: Maria Kartika
ISBN: 979-20-5680-7
Penerbit: PT. Elex Media Komputindo
Terbitan pertama: 2005

***
Blurb:
BLUE. Saat melihat cowok itu di sudut Live House, entah mengapa terlintas kalimat itu di kepala.
Akio Sawai seorang vokalis band amatiran Be Positive yang mempunyai impian membuat debut profesional. Sebenarnya impian itu juga impianku, tapi entah mengapa aku agak ragu.
Blue, akankah kugapai cita-citamu? 

***
Sinopsis:
Semua cerita manis dimulai dari petualangan seorang Nachi Yamamura. Gadis penurut yang datang ke sebuah Live House tempat berbagai konser band amatiran berlangsung pada musim gugur. Saat itu Nachi sedang ditinggal oleh sahabatnya dan menemukan sosok Akio Sawai di antara kerumunan. Nachi jatuh cinta pandangan pertama.
Aura biru Akio menyedot perhatian Nachi. Namun tidak bertahan langsung karena petualangnnya itu ketahuan oleh sang ibu dan dilarang untuk pergi bermain ke mana pun sampai ia lulus SMU.
Lalu di tahun ajaran baru, Nachi bersama Nori berhasil masuk ke SMU yang sama dan kelas yang sama. Di daftar urutan siswa itulah Nachi menemukan nama Akio. Berharap bahwa itu adalah mukjizat dari segala permohonanya untuk bertemu Akio lagi setelah dari musim gugur tahun lalu mencarinya. Nachi harus kecewa karena tidak menemukan Akio yang dirinya maksud. Lagi-lagi takdir mereka sepertinya satu. Nachi dipertemukan dengan Akio yang dimaksud sebagai teman sekelas.
Singkat cerita. Selama berminggu-minggu sekelas dengan Akio, Nachi cuma berani menatapnya saja seperti orang bodoh sampai Nori memberikan sebuah karcis pertunjukan band di Live House yang sama, band amatir bernama Be Positive dan mengungkap rahasia Nachi.
Nachi pergi sendirian ke Live House dan bertemu anggota band Be Positive yang ternyata vokalisnya adalah Akio. Mereka berkenalan dan mengobrol. Kemudian kisahnya dimulai. Nachi yang malam itu pulang diganggu oleh seorang mahasiswa mabuk ditolong oleh Akio. Kedekatan mereka mulai bergulir hari demi hari.
Nachi dijuluki sebagai asiten Akio sampai mereka pacaran. Konflik terjadi saat Be Positive meningkatkan porsi latihan membuat Akio kelelahan untuk membagi waktu sekolah, bekerja, dan latihan. Bahkan Akio tidak datang ke sekolah. Sesekali Nachi yang mampir ke apartemennya untuk memasak sampai pertengkaran di antara mereka terjadi karena Akio yang sakit terlalu memaksakan diri untuk terpilih dalam ajang debut profesional. Hingga kata-kata yang tak seharusnya terucap malah Nachi keluarkan, membuat Akio membencinya tanpa kata-kata putus. Mereka berpisah.
Berhari-hari Nachi mencari Akio dan bertemu di panggung saat audisi. Hal tidak diharapkan malah terjadi pada Akio dan band. Be Positive gagal , sementara audisi itu adalah kesempatan terakhir semua anggota band. Harapan Akio hancur dan ia menjadi bahan olok-olokan band-band lain. Sekali lagi Nachi mencari Akio dan menemukannya dalam keadaan babak belur.
Sampai Akio mulai berpikir bawah Nachi benar. Tanpa sebuah kenyataan, impian tidak akan berjalan. Akio mulai bangkit meski semua teman bandnya mengatakan bubar. Akio kembali ke sekolah. Tapi tekad biru miliknya tidak pernah padam. Pada acara final audisi, Akio nekad naik ke panggung dan menunjukkan kemampuan dari bandnya, dibantu oleh anggota lain yang entah sejak kapan sudah merencanakan semuanya.
Mereka berhasil melakukannya. Be Positive kembali mendapat kesempatan dalam audisi debut profesional dan Nachi menemukan kembali Akionya, juga karisma biru itu.

***
Kelebihan novel:
Dengan bahasa yang lugas Mito Orihara berhasil menarik pembaca untuk mengalami visualisasi sendiri saat membaca. Dilengkapi dengan ilustrasi yang epic, kita tidak harus susah payah untuk menebak bagaimana wajah para karakter. Dan konflik yang tidak berat. Karakternya dijelaskan secara detail dan padat.

Kekurangan novel:
Terletak beberapa plot maju-mundur yang diceritakan oleh si tokoh karena menggunakan sudut pandang orang pertama, harus bisa mengerti posisi untuk tau kapan si tokoh menceritakan pengalamannya.

***
Pendapat:
Menurut saya sendiri, membaca novel ini menyenangkan karena banyak yang bisa dipelajari. Tentang kebijaksanaan sebuah keputusan, menerima apa adanya, persahabatan, dan juga tekad kuat akan sebuah mimpi.
Saya sendiri mungkin udah khatam lebih dari 4 kali membaca buku ini, mengingat saya sudah memiliki novel ini sejak kelas 6 SD. Saya tidak perlu menerangkan bagaimana karakter tokoh di dalamnya karena novel ini rekomended. Saya tidak mau membuat spoiler lebih dari ini.
Novel ini enak dibaca dan Mito Orihara sendiri menjadi salah satu penulis yang membuat saya memiliki alasan untuk menjadi seorang penulis. Bagi pembaca resensi yang sekarang sedang membaca ulasan ini, seandainya bertemu novel saku ini, kalian harus punya. Kenapa?
KARENA CERITA DI DALAMNYA SANGAT MANIS dan dengan karakter yang cukup kuat. Ada antagonis atau musuhnya nggak, sih, kayak novel-novel kebanyakan ada cinta segitiganya?
Hahahahha. Itu rahasia dan kamu bisa jawab sendiri saat sudah baca novelnya.
Mungkin sekian. Selamat berjuang mencari tau kisah manis Akio dan Nachi.
GANBATTE!!

Rabu, 13 September 2017

Flames (Cerpen Roman)


Lily mendekap. Mendekap laki-laki yang tengah bersendu di bahunya. Adakah kesenduan lain yang bisa dia rasakan selain kesenduan yang disebabkan oleh pengkhianatan?

Percayalah, Lily mengalami banyak kesenduhan dibandingkan laki-laki itu. Dia ada dalam pelukkan Lily, namun sangat sulit untuk dijangkau. Sejauh itukah?


(***)
Flame of irian. Bunga sebentuk cakar raksasa berwarna nyala api itu umpama simbol semangat bagi Lily. Setiap kali dia melihat bunga yang menggantung di atas kepalanya sepanjang lorong, kala itulah Lily melihat semangat penuh yang berkobar bak nyala api, panas membara. Sukar untuk dipadamkan dan terlalu kuat.

Untuk yang kesekian kalinya Lily membuka gulungan kertas sepanjang sepuluh senti itu sekali lagi; mendesah lelah sebelum menggulung kembali dan memasukkannya ke dalam wadah beling kecil di antara rerimbunan bunga flames. Berharap tidak ada yang tau benda itu di sana, tidak juga dengan Moza.

Lily mengalihkan pandangan ke pintu tralis taman bunga. Moza berdiri dengan penampilan rapi di sana, memancing senyum manis Lily. "Mau kemana lagi? Mau pergi kencan buta? Kamu harus berhenti melakukannya.  Memang, tidak muak berusaha keras pada cewek-cewek yang akhirnya hanya mengutang makan dari dompetmu itu?" ejek Lily.

Moza tergelak menatap gadis cantik di hadapannya. "Ini bukan masalah muak atau tidaknya. Ini masalah kebebasan. Kita masih muda, jadi nikmati saja saat bersenang-senang begini. Ayolah, jangan jadi kaku. Berbahagialah sedikit." 

Lily hanya tersenyum, kebahagiaanku ada pada senyummu, batinnya bermonolog.

"Baiklah, baik. Setiap aku menyuruhmu bahagia, kamu pasti hanya akan tersenyum. Kamu tahu? Itu membuatku sedikit takut. Ya, walaupun kamu manis."

Moza mengakui paras yang dimiliki oleh Lily. Tetapi entah kenapa, hatinya tidak kunjung terpaut pada gadis itu. Apa karena rentang waktu yang mereka lalui bersama selama ini? Mungkin. Tetapi itu rahasia hati, hanya tabir waktu yang berhak menyingkapnya.

Lily berbalik mencari di mana saklar lampu warna-warninya. Sebentar lagi malam. Dia tahu walaupun dalam gelap Flames akan tetap bercahaya. Tetapi setidaknya Lily tidak akan membiarkan bunga itu dalam kegelapan.

"Moza?" panggil Lily.

"Hmm?"

"Proposal beasiswa yang kamu ajukan untukku waktu itu...."

"Kamu dapat balasannya?" tanya Moza dengan semangat. Dia menarik kursi di hadapan Lily dan turut duduk berhadapan di sana.

"Iya. Mereka bilang akan membiayai hidupku selama di sana dan juga memberiku pekerjaan," balas Lily sendu. Moza bahkan tidak menyadari nada bicara gadis itu yang semakin lama semakin melemah.

"Itu bagus. Jadi kamu tidak perlu lagi...."

"Mereka memintaku pindah ke sana," sambar Lily cepat

Moza meredam seluruh semangatnya, tergeming kaku. Itukah persyaratan mereka?
 
"Ini tidak adil!" sergahnya seraya berdiri. Dia tidak salah, 'kan? Sebelumnya tidak ada persyaratan semacam itu. "Mereka ingin memonopolimu, Lily. Batalkan saja dan tolak beasiswanya. Kita bisa ajukan ke tempat lain."

"Tapi ... aku sudah menerimanya. Aku menyanggupi dan menerima tawaran untuk pindah ke sana," jawab Lily pelan. Sejak awal gadis itu sudah tahu kalau Moza akan berbicara demikian. Maka dari itu ada baiknya jika dia memutuskannya sendiri tanpa Moza. Lagi pula ada faktor lain yang membuatnya menyanggupi tawaran itu.

"Ya, ampun, Lily. Kamu tidak bicarakan ini denganku lebih dulu. Bagaimana, sih? Lihat, sekarang jadi makin sulit," amuk Moza. Tiba saja tatapan curiga penuh tuduh menghunjam Lily yang terdiam kaku. "Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ingin berpisah, ya? Ayo mengaku!" tuding Moza dengan seribu nada kebodohan.

Lily mendesah lirih dan akhirnya ikut berdiri menantang Moza. "Kamu ini bodoh atau apa? Pada akhirnya memang harus seperti itu, 'kan? Tidak mungkin aku akan selalu mengikutimu dan keluargamu nanti."

Moza diam sejenak. 

"Kamu ada benarnya. Ah, sudahlah. Pusing aku jadinya. Kita bicarakan lagi nanti setelah kencanku selesai. Aku pergi," pamitnya dan tiba saja sudah menghilang di balik pintu trali besi.

Lily kembali terduduk dan mendesah dengan raut sendu. Karena sikap bodoh Moza itulah yang membuatnya sulit menjauh.

Andai itu sesulit meraih bintang untuk dapat melupakanmu, maka akan aku panjat awan untuk menggapainya.


(***)
"Kenapa jadi terasa sangat sulit melepaskanmu?" erang Moza sesaat setelah menurunkan koper milik Lily. Gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi keluhannya.

"Ayolah, Moza. Kamu menjadikan langkahku semakin berat," ujar Lily.

Moza tersenyum sesaat. "Bagus. Kamu tidak perlu pergi," dia melihat satu gelengan dari Lily. "Jadi, kamu tetap akan pergi?"

"Tentu. Ini impianku, kamu pun tahu itu."

"Tapi ini tetap tidak adil. Aku di sini dan kamu di Amsterdam. Kita jauh sekali."

Lily terkekeh kecil. "Berhentilah mengeluh. Hidup memang tidak pernah adil. Jadi, biasakan dirimu, ya."

"Jangan cari pengganti aku di sana, ya," ujar Moza semakin terdengar bodoh bagi Lily. Tentu saja sangat bodoh, lagi pula Lily hanya pergi ke benua lain dan bukannya ke dunia lain. Moza itu ... sungguh berlebihan.

Tidak akan, karena tidak ada yang sepertimu di tempat lain. Lily tersenyum keluh menanggapi gumaman hatinya. 

"Tenang saja. Karena di sana hanya ada orang normal dan sangat sulit mencari yang tidak beres sepertimu," balas Lily.

"Hai, tanpa aku yang tidak beres ini, semuanya tidak akan berjalan dengan mulus. Meski aku benci mengakui kalau itu merenggutmu dariku."

"Iya, aku berterima kasih untuk itu."

Lily senang karena di saat akan keberangkatannya, mereka berdua masih sempat berkelakar untuk terakhir kali. Namun sedih juga meliputi. Karena setelah ini semua rasa yang Lily punya akan melebur bersama awan dan rasa cintanya kepada Moza. Tapi tidak dengan hari ini. Dia tidak ingin melupakan hari ini. Kenangan ini akan dia simpan untuk dirinya sendiri.

"Kamu yakin tidak akan pulang?" tanya Moza sekali lagi demi meyakinkan hatinya kalau Lily akan berubah pikiran.

"Entahlah. Jika mungkin aku akan pulang nantinya, pastikan kamu sudah memiliki satu dari sekian cewek yang kamu kencani itu, ya."

"Oh, kalau itu pasti. Aku tidak akan melepaskan salah satu dari mereka. Aku akan tangkap satu dan dia harus membayar atas dompetku yang bolong karena kaumnya," canda Moza.

"Itu bagus," angguk Lily. "Setelahnya, berhentilah melakukan kencan buta yang bodoh itu. Kalau begitu aku pergi?"

Moza mengangguk dan mengulurkan tangan untuk mengisyaratkan Lily pergi lebih dulu. 

Gadis itu menyeret masuk kopernya. Sejenak dia berbalik karena merasa Moza memanggilnya. Lagi.

"Aku akan urus Flames-nya. Kamu jangan khawatir. Belajar dan hiduplah dengan baik di sana," ucap Moza seraya tersenyum. Ada sesuatu  bergelenyar di sanubari terdalam yang Moza tidak ketahui apa itu. Sesak. Apakah ini rasa kehilangan itu? Rongga dadanya kosong dan seakan udara berhenti mengalir ke paru-parunya.

Lily menarik nafas dan menganguk. "Aku titipkan semuanya padamu."

Sosok Lily menghilang di antara rerimbunan orang. Kalimat terakhir Lily seolah terdengar bahwa gadis itu menitipkan segalanya. Bunganya, harapannya, semangatnya, kenangannya, dan ... cintanya. Lily titipkan dan tinggalkan pada Moza.

Setetes air mata membasahi tiket dan paspor. Tangis yang sedari tadi Lily redam, kini tumpah ruah. Dia tak kuasa menjanjikan apa-apa pada Moza dan bahkan dia tidak yakin mampu melupakan laki-laki itu dikehidupan barunya.


(***)
Berminggu-minggu. Tidak! Sudah berbulan-bulan lamanya Lily pergi. Dia menghilang dari pandangan bagaikan uap air yang melebur. Hanya tinggal Moza yang sesekali terduduk mengingat gadis itu di bawah rayuan sejuk Flames yang bertebaran semakin menyala.  

Apa semangat Lily sekarang semenyala itu?

Selama hampir delapan bulan lamanya Moza mengurusi tanaman kesayangan Lily. Tentu saja, dia sudah berjanji. Tetapi selama itu pula Moza mulai berhenti melakukan kencan buta bodoh. Tidak seru tanpa Lily yang siap mengomentarinya. Sungguh, Moza sangat merindukan senyum manis gadis itu. Bukan, Moza merindukan segalanya tentang Lily, tidak hanya senyumnya.

Lampu taman berkedip seolah hendak padam. Moza yang teringat bahwa Lily tidak pernah membiarkan penerangan Flames memadam berusaha ingin mengganti lampunya. Di sanalah Moza melihat botol beling kecil gembung yang terisi penuh dengan gulungan kertas. Menggantung. Di samping cahaya hangat bola lampu.

Moza teringat kalau Lily selalu ada dalam posisi berdiri di kursi bawah lampu setiap dia memergokinya. Dulu dia sempat berpikir bahwa gadis itu hanya memperbaiki lampu. Ternyata benda itu menjadi penyebabnya.

Moza membobol paksa dan membuka lembaran-lembaran gulungan kertas. Satu per satu, lembar demi lembar. 

Mereka hanya melubangi kantongmu, bodoh.

Cewek yang kamu kencani, semuanya buruk.

Berhentilah mengejar cewek-cewek bodoh itu.

Moza, bodoh.

Senyum Moza mengembang saat membaca komentar-komentar mengenai kencan butanya. Dia jadi semakin merindukan Lily. Tiba saja Moza jadi tertegun menemukan banyaknya lembaran dengan kalimat yang sama yang ditujukan entah untuk siapa. 

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu.

Aku sangat mencintaimu. 

Aku jujur, kalau aku sungguh-sungguh mencintaimu. 

Apa karena kita sering bersama, sehingga kamu sulit menatapku? 

Aku mencintaimu, Moza.

Jantung Moza bergemuruh, sunguhkah penglihatannya ini? Apa yang sudah terjadi? Cinta itu ada di depan mata, tetapi dengan bodohnya dia masih mencari. Lily mencintainya dalam diam. Memeluknya dengan sepenuh cinta selama ini.

Aku di sini, Moza. Lihat aku dan berhentilah bertindak bodoh.

Hanya ini. Kebahagianmu adalah kebahagiaanku juga.

Rongga dada Moza memanas. Apa itu penyebab Lily tak pernah menanggapi ucapannya yang meminta gadis itu bahagia? Karena dirinyalah sejati dari kebahagiaan Lily. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan Lily, walau menyakitkan. Tiba di kertas paling akhir, Moza ambigu ingin membuka atau membiarkannya.

Deg....

Andai itu sesulit meraih bintang untuk dapat melupakanmu, maka akan aku panjat awan untuk meraihnya.

Inilah alasan terbesar Lily menerima tawaran itu tanpa izinnya. Gadis itu ingin melupakannya. Lily ingin pergi jauh untuk mengubur segalanya. Andaikan Moza tau lebih awal tentang cinta ini, dia tidak akan membiarkan Lily pergi. Sekuat tenaga dia akan menahannya. 

Air mata jatuh mewakili penyesalan. Kesalahan terbesar yang terakhir disesali adalah membiarkan dia pergi setelah semuanya terlambat.

Akhirnya, Moza mengerti tentang kalimat terakhir Lily yang diucapkan untuk menitipkan segalanya.
Flames itu tidak hanya sekadar bunga. Ada semangat menggelora di dalamnya, ada harapan yang gadis itu gantung di antaranya, ada sejuta kenangan di bawahnya, dan ... ada cintanya bersama Flames itu. Moza.

"Pulang atau tidak, aku berjanji akan menunggumu," desis Moza pada Flames. Berharap Lily mampu mendengarkan ucapannya melalui bunga-bunga itu. Meski tidak jelas Lily apakah akan kembali atau tidak, Moza akan menunggu untuk cinta yang selama ini dia cari.
END
===========
RIS posting at (110916) via Wattpad @Viellaris_Morgen
Repost at (130917)

1. Cokelat dan Kekecewaan

Chocolatte Feeling 1 Cokelat dan Kekecewaan *** Chindai berjalan lesu, menenteng paperbag -nya. Harapan kini tinggal hara...